FANTASIA
Oleh : Arief Natakusumah
Tabloid Bola Edisi 2460
Pekan demi pekan, Serie
A menata imperiumnya usai terkena imbas krisis moral sampai ekonomi. Sepak bola
selalu soal era. Sehebat apa pun model bisnisnya, permainan ini tetap berakar
pada budaya, ekspresi, dan taktik: trilogi Renaissance yang pernah lahir di
Italia. Mereka punya sejarah hebat untuk meraih kejayaannya lagi.
Sejak lama Serie A
kerap divonis berlebihan. Dari mengutuk filosofinya, menggugat catenaccio, sampai dianggap taktik
memalukan. Padahal, opini seperti itu justru menegaskan ketidakmengertian pada
esensi calcio. Dalam kesempatan kali
ini, saya mengajak anda untuk sekilas membedah inti permainan Italia yang jadi
ramuan tersuci mereka: fantasia dan furbizia.
layaknya konsep
menyerang-bertahan, sepak bola itu peperangan. Pada teori kesempatan, ia
menjadi arena persaingan sehari-hari. Jadi, bebas saja melakukan strategi apa
pun. Lagi pula tak ada dosa di calcio. Seperti itu kira-kira pikiran orang Italia
menganalogikan falsafah sepak bolanya.
Maka dari itu, Tobias
Jones dalam buku The Dark Heart of Italy (2003)
bilang begini: “Untuk memahami kekuatan bangsa Italia, pahamilah kekuatan sepak
bola mereka.” Dalam konteks “the world of
game” pun seluruh bangsa di dunia dan semua tim sejagat berhak memainkan
gaya sesuai karakteristik dan kemampuannya.
Deskripsi fantasia dan furbizia tidak ada dalam istilah sepak bola Inggris, Belanda,
apalagi Jerman. Di Ensiklopedia Britannica, rincian fantasia hanya beberapa baris. Tapi, furbizia tidak ada sama sekali. Akar sinonim fantasia adalah fantasy,
bisa juga fancy. Dalam istilah musik,
fancy berarti komposisi yang lahir secara inspiratif dan imitatif. Fantasia dan furbizia adalah konsekuensi homogenitas budaya yang menjadi pilihan
sejati. Menurut deskripsi budayawan Andrea Tallarita, fantasia berasal dari Brazil dan furbizia dari Argentina. Setiap tim di Italia selalu memiliki dua
ekspresi impor ini.
Fantasia
bermakna “chi vuole mantenere”, yang telah dimiliki. Furbizia bermakna “chi vuole acquistare, yang tidak dimiliki. Hal ini
tentang pengakuan. Pada konsep calcio, setiap pemain selalu punya posisi umum
dan posisi khusus. Artinya di dalam satu tim berisi 11 pemain, bisa terdapat
15-16 macam peran!
Konkretnya begini, dari
pemain macam Francesco Totti atau Andrea Pirlo saja, selain menjadi jantung
permainan, mereka lazim untuk memerankan tugas inspiratos, organisator, algojo,
bahkan dalang kekaucauan lawan. Begitulah ruwetnya calcio, seperti halnya
bangsa Italia yang suka hal-hal rumit.di negeri ini, permainan lebih kental
beraroma taktik ketimbang teknik.
FACCI
SOGNARE
Secara etimologis, fantasia bermakna penampakan,
apparizione, dan berasal dari kata phantasos, dewa mimpi bangsa Yunani. Bagaimana
fantasia bekerja dalam permainan? Fantasia terjadi cuma beberapa kali
sepanjang 90 menit. Fantasia harus
senantiasa mengarah kepada pengambilan inisiatif atau pemanfaatan kesempatan. Tanpanya,
fantasia tidak efektif dijalankan.
Tahap awal proses fantasia berupa eksplorasi singkat
misalnya dengan membuka dan menutup ruangan, serangan tiba-tiba atau berniat
untuk memudarkan taktik lawan. Semua dilakukan secara sekejap dengan cara elegan
berteknik tinggi. Lalu yang paling menentukan: fantasia sangat butuh satu pemain paling spesial yang punya visi
paling hebat.
Orang Italia menyebut
tokoh ini “il fantasista”, sang kreator. Bisa juga diartikan si pemikir. Dia adalah
professional of imagination, yang secara aklamasi dan faktual harus ada dalam
sebuah tim. Tugas fantasista membuat kejutan, mengubah arah permainan,
memproduksi inisiatif, ofensif, logika, menyusun skenario, dan skema untuk
tujuan konkret.
Uniknya, dia tak punya
posisi pasti di lapangan, meski dipastikan bakal berkeliaran di antara
gelandang dan penyerang. Bisa sebagai trequartista bisa pula tidak. Sang fantasista
meski berteknik tinggi, berwawasan luas, kendali bolanya sempurna, passing
ciamik, serta hampir pasti pakar membaca permainan.
Muncul kepercayaan
seorang fantasista itu lebih dari soal bakat atau bentukan, tapi dilahirkan. Jika
ada seseorang yang ditunjuk menjadi pelatih sebuah tim di Italia, prioritas
pertama dia adalah mengetahui dulu atau menemukan calon fantasista-nya. Fantasia bukan output, tapi proses,
skenario untuk mengubah mimpi jadi kenyataan.
Di mata tifosi,
metafora fantasia adalah “facci
sognare”, yang berarti “berilah kami impian”. Metafora ini banyak diungkapkan
sebagai harapan. “Pada dasarnya fantasia
seperti alat elektronik yang bisa terhubung dan bisa dikombinasikan kemana pun
sesuai kebutuhan, keinginan, kesenangan,” begitu sebut Italo Calvino, seorang
jurnalis dan novelis lokal.
Bagaimana dengan furbizia? Nantikan pembahasannya di lain
waktu.
Itulah sepakbola..itulah kehidupan
BalasHapus