Kamis, 07 Februari 2013

FURBIZIA

Ditulis Oleh: Arief Natakusumah (GM Editorial / Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Bola)
Tabloid Bola Edisi 2463  Senin-Rabu, 4-6 Februari 2013
S
uatu hari Jaap Stam menggaruk-garuk jidatnya ketika diberi tugas menjaga Pippo Inzaghi, yang gampang terpelanting. Kepercayaan diri bek Manchester United itu tergerogoti. Ia bak berada di tapal batas kewarasan. Persoalan bukan secara fisik, lantaran badan orang Belanda itu lebih besar dan kuat.
Problemnya: berkali-kali Stam terjebak tipu daya prima punta yang ceking itu sehingga timnya sering dihukum tendangan bebas dan dia pun dikartu kuning. Ia tak berpengalaman menjaga striker Serie A, yang lazimnya licik, tak boleh di-man-to man-marking kecuali di-zonal marking.
Apa kesalahan Stam? Sebenarnya tak ada! Inilah menariknya sepak bola Italia. Aturan kerap menjadi persepsi, lantas persepsi sering menjadi aturan. Sepak bola selalu berjalan baik bila “dimainkan” dengan otak. Lagi pula, orang Italia beranggapan dosa tak pernah muncul dari permainan.
Di satu sisi, mereka juga percaya sepak bola adalah sebuah metafora kehidupan. Alih-alih takut bikin dosa sungguhan di kehidupan nyata, yang acap bikin kikuk di hadapan uskup dan kardinal, maka di calcio-lah lahan paling kondusif untuk mempraktikannya.
Martin Clark dalam Modern Italy 1871-1995 memaparkan: “Di negeri ini, anda belum dianggap apa-apa jika tak pernah berurusan dengan aparat hukum. Di Italia, menjadi terdakwa, tokoh antagonis, adalah jalan pintas untuk populer.”
Sudah lazim dikenal Italia itu tempat paling enak berbuat sesuka-sukanya, melanggar aturan, sampai yang berurusan dengan hukum. “Di Italia tak ada malaikat atau setan kecuali para pendosa kecil,” begitu ucapan Giulio Andreotti, Perdana Menteri Italia 1989-1992.
Artinya: Inzaghi, Fabio Grosso yang menipu Lucas Neill, atau Marco Materazzi yang memprovokasi Zinedine Zidane di Piala Dunia 2006 Cuma para pendosa kecil. Asal cepat bertobat, hal itu tak membuat ketiganya masuk neraka. Ucapan kata maaf pun bukan kepada “korban”, biasanya ke masyarakat.
Sepak bola cerminan sesuatu yang ada di dalam semangat manusia. Inilah makna calcio sebagai sepak bola panca indera. Setelah fantasia, kali ini giliran dibedah satu ramuan pelengkap sebagai sakramen vital dan paling essensial dalam sepak bola Italia, yang disebut furbizia.
SENI PERAN
Budaya mediterania menaruh furbizia sebagai semangat tertinggi di calcio. Tak berwujud dan nonkoreografi, furbizia kebalikan dari fantasia. Hamburan energi untuk memperdaya, mengecoh. Dalam perspektif giuoco, furbizia adalah seni tipu daya, trik, atau “the art of guile”.
Italia menikmatinya sebagai kebanggaan. Furbizia bukanlah sebuah kecurangan, kecuali sebagai respons mengimbangi jogo bonito, fantasia sejati Brasil yang mustahil ditiru anak-anak Italia. Jogo, dari kata lain iocus artinya bermain-main, diyakini jelmaan dewa mimpi oneiros.
Jika jogo dianggap simbol freedom and fun, maka bonita dimaknai dengan “irama, bakat, dan ayunan”. Lazimnya permainan, objek tentunya bola. Subjeknya si pemain. Dalam jogo, hal ini justru dibalik! Gaya ini selalu berada di kepala orang Italia, obsesif. Jogo-lah yang menyuburkan furbizia.
Lumrah setiap pemain Italia dialiri DNA furbizia, seni drama itu. Di permainan calcio, “kecurangan” bisa diartikan taktik yang tidak mampu dilakukan lawan atau cara untuk mengeksploitasi kelemahan lawan! Jika ogah memahami kultur Italia, siap-siap melongo sengsara-lah seperti Stam.
Furbizia adalah seni peran. Esensinya tiada lain satu tipu muslihat sistematis yang mengacu pada performa, taktik, dan psikologis permainan. Moralitas tak berlaku di lapangan hijau sebab sekali lagi, sepak bola Cuma sebuah permainan. Dalam permainan tak ada dosa.
Serie A kenyang dengan reputasi buruk dan stigma kriminal. “jika kemenangan itu suatu seni, Italia adalah masternya,” begitu sindir ESPN. Hal ini sungguh menyakitkan sebab dengan kata lain pintu kualitas calcio ditutup rapat. Apresiasi telah dijungkirbalikkan.
Furbizia bersifat ganda. Satu mengeksploitasi ambivalensi, sedangkan satunya lagi mengatasi konflik. Buat tifosi, tatkala ada pemain yang cedera, hujan protes, bahkan off-side, permainan bukan berarti stop, tapi dimaknai sebagai jeda yang berguna untuk mengasah lagi strategi.
Untuk mematangkan furbizia, permainan biasanya diawali dengan irama adagio, pelan-pelan semakin ekspresif layaknya Romeo dan Giulietta. Pada akhirnya furbizia dilegitimasikan sebagai misi taktis mencari keuntungan, bukan kemenangan.
Jika anda penggemar budaya Italia, apalagi pernah tinggal atau pergi di sana, memahami Serie A akan lebih mudah. Fantasia barangkali utopia, tapi furbizia adalah realitas. Yang paling penting, menikmati Serie A adalah lahan sempurna untuk merefleksikan kehidupan nyata.

1 komentar: