Tulisan kali ini saya akan mencoba menghadirkan sebuah kisah
yang menggambarkan bagaimana sistem kapitalis berkembang dan merubah tatanan
kehidupan suatu wilayah. Kisah ini saya kutip langsung dari buku berjudul Satanic Finance karya A. Riawan Amin. Oke
langsung saja berikut kisahnya.
Syahdan di suatu samudera terdapat dua pulau yang bertetangga
sebut saja Pulau Aya dan Pulau Baya. Di pulau Aya, suku Sukus hidup sejahtera. Mereka
dikaruniai daratan yang subur. Mereka hidup bercocok tanam. Pertanian mereka
menghasilkan sayuran dan buah-buahan tropis. Ikan dan sumber daya laut sangat
melimpah. Tidak hanya itu, pulau Aya terkenal dengan panoramanya yang indah. Gemericik
air terjun bisa ditemui di banyak tempat. Sungai-sungainya yang jernih juga
menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran bila pulau ini menjadi tempat tujuan
para pelancong dan wisatawan lokal maupun luar pulau.
Masyarakat Sukus dikenal memiliki peradaban yang cukup maju. Mereka
beruntung, pulau yang mereka tempati menghasilkan emas. Dan mereka bekerja
keras untuk mendapatkan logam mulia ini. hampir semua anggota suku memiliki
emas dan menyimpannya sebagai simbol harta kekayaan.
Selain sebagai simbol peradaban, emas juga berfungsi sebagai
alat transaksi. Sejak Saka, sang ketua suku, mencetak koin emas, maka semua
transaksi jual beli yang semula dilakukan dengan barter beralih dan diukur
dengan emas. Berdagang pun menjadi lebih mudah dan simpel.
Meskipun begitu, mereka tidak mendewa-dewakan emas sebagai
satu-satunya pencapaian. Kehidupan sosial mereka tampak lebih penting. Ini bisa
dilihat dari cara mereka yang saling tolong-menolong. (Kami di dunia setan sangat
membenci perilaku ini). ketika anggota suku perlu membangun rumah baru karena
rumah lama tersapu ombak, yang berarti menguras emas simpanannya,
anggota-anggota suku lainnya dengan suka rela meminjamkan emas miliknya. Hebatnya,
tanpa charge atau tambahan apapun. “Dasar
manusia bodoh, sudah meminjamkan uang kok tidak mau minta kompensasi,” begitu
gerutuan kami.
Kami semakin pusing karena tidak terbatas itu saja, mereka
juga bergotong royong satu sama lain dengan ikhlas. Padahal kami ingin, paling
tidak, mereka lakukan ini dengan riya. Pantaslah bila kehidupan mereka meskipun
sederhana tapi diliputi semangat kesetiakawanan yang tinggi. Anggota suku
terbiasa bahu-membahu mengatasi persoalan bersama. Boleh dikata, mereka hidup
rukun dan damai.
Sementara pulau tetangganya, Pulau Baya, didiami Suku Tukus. Kebanyakan
penduduknya bekerja sebagai petani. Mengolah lahan di sawah atau ladang dan
memelihara ternak. Sebagian lagi yang memiliki keterampilan khusus, memproduksi
kerajinan tangan.
Dibandingkan Suku Sukus, mereka lebih sederhana. Mereka masih
menggunakan sistem barter dalam transaksi keseharian. Yang menghasilkan padi
menukar berasnya dengan kerajinan tangan atau sebaliknya. Boleh dibilang secara
ekonomi, kesejahteraan mereka dibawah suku Sukus. Mereka kebanyakan hanya
pekerja kasar. Mereka tidak memiliki pusat kota yang indah dan maju seperti
halnya Sukus. Sesekali mereka menjual hasil bumi dan handicraft mereka ke suku
Sukus. Mereka, apalagi para wanitanya, sangat senang menerima koin emas sebagai
jasa dari padi atau kerajinan tangan yang mereka hasilkan. Meskipun berbeda
dalam hal kesejahteraan, ada satu persamaan menonjol di antara Sukus dan Tukus.
Mereka sama-sama hidup damai, rukun, dan saling tolong-menolong. Mereka sering
.bersilaturahmi dan menjalankan ritual agamanya dengan tenang.
Sampai akhimya datang tamu istimewa ke suku Sukus.
Berpenampilan perlente, dua orang asing turun dari kapal yang berlabuh di pulau
Aya. Gago dan Sago, begitu mereka mengenalkan diri saat dijamu oleh Saka,
pimpinan suku Sukus. Kedua tamu ini disambut dengan suka cita. Saka dan para
pembantunya sangat terkesan dengan kisah Gago dan Sago yang mengaku sudah
melanglang buana. Sebagai bukti, kedua orang asing itu lalu memamerkan koin
emas asing yang mereka kumpulkan dari berbagai tempat perlawatan.
Satu hal lagi dan ini yang paling menarik bagi Saka dan
punggawanya adalah kertas yang dinyatakan sebagai uang. Gago dan Sago lalu
memperkenalkan bagaimana uang kertas jauh lebih efisien ketimbang emas yang
sehari-hari mereka pakai. Itulah kenapa uang kertas ini sudah dipakai di
negara-negara yang jauh lebih maju dibanding tempat mereka tinggal. Gago dan
Sago yang mulai mendapat respon positif semakin bergairah menjelaskan uang
kertas ini kepada sang tuan rumah. Lalu, mereka memperkenalkan mesin pencetak
uang.
“Gambar Anda nanti akan terpampang dalam lembar uang kertas
ini,” Gago menunjuk uang kertas sembari menyunggingkan senyum kearah Saka.
“Benarkah?” sela Saka berbinar. Dalam hati Saka girang bukan
kepalang. Seumur hidupnya, tidak ada orang yang memberikan penghormatan
sebagaimana dua tamu istimewanya.
Kami pun membisikkan ke dada Saka,”Hai Saka, kalau uang
kertas bergambarkan dirimu diterbitkan, pasti kamu menjadi manusia terkenal
hingga daratan yang pernah disinggahi para tamumu yang luar biasa itu.”
“Seratus persen Anda akan menjadi orang terkenal!” Sago
menimpali sembari mengangkat dua ujung jempol tangannya ke atas. Sago memang
agen tulen kami. Tanpa kami bisikan sesuatu, la sudah tahu apa yang harus
diperbuat. Dan pujian itu pun melambungkan angannya. Ha.ha..ha…pancingan Gago
dan Sago mengena. Dua agen kami ini pun semakin antusias meyakinkan suku Sukus
bahwa mata uang kertas akan sangat membantu membuat perekonomian mereka
efisien.
Dan untuk kepentingan itu, sebuah institusi bernama bank
perlu didirikan. Bank akan me¬nyimpan deposit koin emas mereka yang menganggur
(idle). Lalu, uang deposan ini sebagai taktik, ya hanya sekedar taktik bisa
dipinjamkan kepada anggota suku Sukus yang memerlukan. Dengan demikian,
kesannya semua sumber daya yang ada rnenjadi optimal karena dialokasikan untuk
kegiatan ekonorni produktif.
Suku Sukus yang terkenal suka. membantu sangat impresif
dengan ide itu. Mereka pikir lembaga ini sangat luar biasa karena bisa
melanjutkan tradisi mereka untuk membantu orang lain. Jadilah ide itu diamini
dan dilanjutkan dengan mendirikan bangunan yang difungsikan sebagai bank yang
pertama di Pulau Aya .
Upacara pembukaan perdana bank Aya,sebut saja begitu, sangat
meriah. Orang sepulau tumplek blek jadi satu, rnerayakan hari yang bersejarah
itu, Sebagian besar dari mereka sudah membawa koin emas yang selama ini
disimpan dibawah bantal. Setiap satu koin emas yang mereka simpan, mereka mendapatkan
ganti uang kertas dengan jaminan bila sewaktu-waktu mereka menghendaki, mereka
bisa menukarkan kembali uang kertas yang saat ini mereka terima dengan koin
emas yang pernah mereka simpan.
Hampir semua anggota suku Sukus menyimpan koin emas mereka di
Bank Aya. Sejumlah 100.000 lembar uang kertas diserahkan, yang berarti Bank Aya
yang dimotori Gago dan Sago rnenerima 100.000 koin emas. Tak terasa, akhirnya
penduduk negeri Pulau Aya begitu menikmati uang kertas itu. Mereka merasakan,
dengan menggunakan uang kertas itu, transaksi yang mereka lakukan jauh lebih
simpel dan nyaman.
Praktis sernakin jarang orang yang menggunakan koin emas
dalam transaksi sehari-hari. Sampai akhirnya uang kertas menjadi mata uang
dominan .Kenapa mereka begitu? Karena selain lebih memudahkan transaksi, mereka
juga bisa dengan mudah menukarkan uang kertas mereka dengan koin emas jika
mereka memerlukan. Untuk yang satu ini, Gago dan Sago sangat menjaga
kepercayaan. Setiap kali ada yang mau menukarkan, kali itu juga koin emas diberikan.
Demikian seterusnya sehingga lama-lama orang tidak khawatir dengan uang kertas
miliknya. Toh kalau mereka mau, mereka bisa menukarkannya sepanjang waktu.
Perkembangan ini temyata menjadi berita di mana-mana. Suku
Tukus yang mendiami pulau Baya, diam-diam memuji dan ingin sekali praktik yang
sama juga diterapkan di pulau mereka. Bayangkan, dari semula melakukan jual
beli dengan cara barter, tiba-tiba ada sistem super canggih yang bisa membantu
mereka melakukan transaksi dengan sangat mudah dan efisien.
Tak sabar, mereka mengutus duta menemui Gago dan Sago. Mereka
minta agar sistem yang mereka bawa juga bisa diterapkan di Pulau Baya. Gago
menyanggupi. Dia meminta Sago untuk membuka cabang Bank Aya di Pulau Baya dan
mengangkat Sago sebagai manajernya. Hanya bedanya, di sini hanya sedikit
penduduknya yang memiliki koin emas.
“Anda tidak perlu kecil hati,” kata Sago menghibur.”Tanpa
koin emas pun Anda bisa mengenyam kenikmatan sebagaimana tetangga pulau Anda,”
dia bermanis-manis menerangkan. Tentu saja keterangan ini disambut gembira oleh
penduduk Pulau Baya.A ha!, Sago betul-betul agen kami yang cemerlang. Otak
bulusnya benar-benar tidak menyimpang dari program yang sudah kami tanamkan:
keserakahan.
Begitulah,mulailah Sago membagikan uang kertas. Ada 100 kepala
keluarga di pulau itu. Setiap kepala keluarga diberikan 1000 lembar uang. Jadi
total uang yang tersirkulasi di pulau Baya mencapai 100.000. “Karena Anda tidak
menyimpan koin emas seperti halnya penduduk pulau seberang, sebagai gantinya,
Anda bisa menggunakan uang yang telah saya bagikan.”
Apa yang dikatakan Sago itu disambut dengan senang. Tepuk
tangan riuh membahana. Mereka bersyukur, sebentar lagi negeri mereka tidak akan
sekolot dan seprimitif tempo hari. Namun, Sago kemeriahan itu sempat hening
ketika Sago menyela,” Harap diingat. Uang yang saya bagikan tadi tidak gratis.
Ini adalah pinjaman. Nanti setelah setahun dari saat ini, Anda harus
mengembalikan uang ini plus 100 lembar uang tambahan.”
“Kenapa harus ada tambahan 100? Kenapa tidak mengembalikan
sejumlah yang kami pinjam?” seorang pemuka suku Tukus menyela.
“Huuh ! Dasar manusia bebal,” umpat kami yang tak sabar
mendengar jawaban cerdas dari Sago.
“Betul Anda memang hanya meminjam 1000.Yang 100 itu adalah
untuk membayar jasa yang kami sediakan,” ujar Sago dengan senyum lepas
menjelaskan. Penjelasan brilian! Kami turut puas. Tak terasa air liur kami
berloncatan di sela-sela taring-taring kami yang panjang menunggu agar para
manusia bodoh itu tak lagi rewel menyoal tambahan yang wajar.
Meski ada yang masih mengganjal,penjelasan Sago cukup tepat
untuk membungkam naluri kritis warga Tukus.itu terlihat dari tak surutnya minat
warga Tukus untuk mengambil tawaran Sago.Paling tidak, mereka bisa merasakan
mudahnya bertransaksi dengan uang kertas.Dan yang lebih penting lagi, menikmati
status sebagai warga dunia baru (Ingat program Iblis : Tatanan dunia
baru).Modern dan prestisius.
Setelah sekian lama, dua agen kami itu mulai memainkan kartu
truf. Dari pengamatan Gago, dipulau Aya rata-rata hanya sekitar 10 persen uang
kertas yang ditukarkan ke koin emas pada setiap waktu. Sisanya 90 persen tetap
berada dikotak penyimpanan Bank Aya. Mencermati bahwa uang kertas mereka sudah
merajai alat tukar, kami pun tergelak.
“Hai Gago, kenapa tidak kau cetak uang lagi? Bukankah hanya
sedikit dari meraka yang menukarkan uang kertasnya dengan koin emas? Bukankah
kau bisa meraup untung luar biasa dengan cara ini? Ayolah kawan, tunjukkan otak
cerdasmu,” begitu kami tak henti menggelitiki Gago.
Dan benar, Gago memang agen kami yang jempolan. la lalu
mencetak uang kertas lebih banyak. Tidak tanggung-tanggung hingga 900.000.
Dalam kalkulasinya, jumlah ini, ditambah jumlah uang kertas yang telah
dibagikan sebelumnya, totalnya 1.000.000. Kalau ada orang yang datang hendak
menukarkan uang kertas ini, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah hanya 10
persen saja. Nah, kalau ini yang terjadi, bukankah la menyimpan 100.000 koin
emas, yang tidak lain adalah koin yang telah disetor oleh seluruh penduduk
Sukus? Kalau hitung-hitungan pahit itu benar-benar terjadi, bukankah cadangan
koin emas yang diperlukan sudah cukup?
Fantastic! Creating Money from nothing! Menciptakan uang dari
kekosongan. Hanya orang-orang seperti Gago, kawan kami, yang bisa. Begitulah.
Akal bulus Gago bergerak. la pinjamkan 900.000 uang kertas yang baru dicetaknya
kepada warga Sukus yang memerlukan. Kalau di pulau Baya, Sago rnengutip
tambahan ekstra sebesar 10 persen dari pokok, nah Gago meningkatkan kutipan
hingga 15 persen. Artinya kalau seseorang meminjam 1000 lembar uang kertas, di
akhir tahun la harus mengembalikan 1150 uang kertas, dimana 150-nya adalah
charge dari layanan yang kami berikan.
Hari pun berganti. Bulan berjalan begitu cepat.Tak terasa
setahun pun lewat. Apa yang terjadi dengan suku Sukus dan Tukus? Pelan tapi
pasti, penduduk pulau Aya merasakan harga-harga kebutuhan barang dan jasa
mereka naik. Mereka tidak tahu apa penyebabnya. Banyak di antara orang yang
meminjam uang dari Gago mengalami gagal bayar. Mereka bukan orang pemalas atau
penganggur. Tapi meski telah bekerja keras, mereka masih kesulitan melunasi
utang berikut bunganya. Dan mereka memang tidak akan pernah bisa. Bahkan ketika
mereka menjadikan 24 jam untuk bekerja. Lihatlah, uang yang dipinjamkan 900.000
bila ditambah bunga 15 persen, berarti senilai 135.000 atau jumlah total
mencapai 1.135.000. Padahal, jumlah uang yang beredar hanya 1.000.000 (100.000
diberikan sebagai ganti 100.000 keping koin emas,ditambah uang baru 900.000
yang dicetak Gago).
Dan inilah panen raya yang kami tunggu. Kesuksesan Gago dan
Sago. kami sebut begitu,karena sistem yang dikenalkan dua agen top kami itulah
yang pertama kali mengubah watak bisnis kekeluargaan menjadi bisnis yang
individual kompetitif. Kehidupan sosial mereka yang harmonis, penuh toleransi
dan tolong menolong, perlahan luntur. Masing-masing kepala, apalagi yang
berhutang harus bekerja keras demi mengejar uang untuk melunasi kewajibannya.
Sehingga, ketika ada ombak besar menyapu sebagian rumah penduduk, kebiasaan
mereka untuk saling bantu luntur. Prinsip saling membantu berubah menjadi :
Time is money. Membantu orang boleh tapi harus ada kompensasinya : UANG. Sisi
kehidupan sosial yang akrab perlahan berubah menjadi individual.Masing-masing
mulai terbebani untuk berusaha keras demi kepentingan masing-masing.Sungguh
perubahan yang sulit sekali kami capai sendirian,bila tanpa dua kaki tangan
kami si Gago dan Sago.
Hal yang sama pun dialami Suku Tukus. Awalnya mereka tidak
menyadari. Namun, lambat laun mereka merasakan perubahan. Kebutuhan pokok yang
dulunya cukup ditukar dengan barang kerajinan atau sebaliknya, kini mulai
sedikit bermasalah. Mereka tidak tahu kenapa tanpa terasa, dengan berlalunya
waktu, harga-harga terus merambat naik. Padahal, mereka telah membanting tulang
dan bekerja lebih keras. Kerjasama antar warga yang semula menjadi tradisi,
lama-kelamaan juga mulai luntur. Mereka menjadi egois, diburu kebutuhan
masing-masing. Toh di akhir tahun tidak semua bisa membayar kewajibannya.
Seperti dialami suku Sukus, suku Tukus pun anggotanya banyak yang default alias
gagal bayar.
Melihat perkembangan ini, kami di dunia setan pun bersuka
ria. Betapa tidak, dimana kerakusan menjadi idiologi, di situlah singgasana
kami dibangun. Karena itu, kami pun semakin rajin membisiki Gago dan Sago untuk
tidak hanya berhenti di sini saja. Tapi untuk semakin menguasai manusia-manusia
bodoh yang dulunya berlagak saling bantu itu.
Gago dan Sago memang sangat impresif. Mereka adalah ciptaan
jenius. Terbukti ketika mereka melancarkan dua trik lanjutan untuk memenangkan
keadaan. Kepada para penunggak sebagian ada yang dipaksa membayar. Caranya,
dengan menyita harta benda mereka. Rumah, sawah, ternak dan maupun harta benda
lainnya pun segera berpindah tangan. Sementara penunggak yang mempunyai
hubungan baik dengan Gago dan Sago diberi kesempatan untuk memperpanjang masa
angsuran. Kebetulan Taka, pim¬pinan suku Tukus, salah seorang di antara
penunggak. Maka untuk atas nama “kebaikan hati” Sago bukan saja memberikan
tambahan waktu mengangsur utang, tapi juga memberikan tambahan utang baru.
Kenapa? Dia beralasan utang ini biar bisa dipakai untuk melancarkan kegiatan
produktifnya. Namun alih-alih bisa membayar periode berikutnya, Taka kembali
tak bisa melunasi utangnya.
Malu karena tak bisa membayar kewajiban, Taka menarik diri
dan menghindari bertemu dengan Sago. la mulai kehilangan kepercayaan diri.
Kewibawaannya sebagai kepala Suku Tukus berbalik ke titik nadir. Sementara,
Sago yang semula berlagak membantu, kini tinggal melakukan eksekusi. la semakin
kaya. la pun berubah lagaknya Tuan Besar. Ha..ha..ha… Dalam dunia kami, kedua
agen ini memang layak sombong. Karena kepintaran dan ke¬jeniusannya. Hanya
orang-orang dengki saja yang menyebut cara-caranya menguasai manusia-manusia
bodoh itu sebagai keculasan. Tidak bermoral? Ini hanya retorika gombal,
persetan dengan moral.
Setelah beberapa tahun berselang, Gago dan Sago yang semula
datang ke Aya dan Baya dengan modal mesin pencetak uang, kini telah menjadi
pemilik hampir semua kekayaan di dua pulau tersebut. Mereka menguasai ekonomi
dan properti. Lambat laun, dengan uang, mereka pun beroleh kekuasaan baru:
menguasai politik negeri itu.
Sementara masyarakat dua pulau itu tinggallah sebagai pekerja
kasar. Kemiskinan tiba-tiba seperti menjadi endemik yang terus menyebar cepat.
Mereka bekerja keras, untuk hasil yang sedikit. Mereka kehilangan waktu untuk
saudara dan tetangga. Mereka semakin jarang melakukan upacara keagamaan. Lebih
parah lagi, mereka semakin tidak perhatian satu sama lain.
Kejahatan yang semula hanyalah cerita yang sering mereka
dengar dari negara antah berantah, kini menghampiri marak di depan hidung
mereka sendiri. Karena tidak bisa bayar utang, mereka mengorbankan anak dan
bahkan istrinya untuk diperbudak. Prostitusi yang semula begitu tabu bagi
mereka, seperti menjadi budaya baru. Semua budaya yang datang dari Gago dan
Sago, dianggap superior. Budaya lokal pun lambat laun punah. Gago dan Sago
telah menguasai semua, tak ada yang tersisa: ekonomi, budaya, kekuasaan, dan
keadilan yang bisa mereka beli melalui uang.
Namun ini bukan akhir petualangan mereka. Mereka tak hanya
ingin menaklukkan dua pulau Aya dan Baya. Mereka ingin semua pulau di dunia
berada dalam pengaruh kekuasaan mereka. Target mereka bukan untuk menaklukkan
tentara musuh di negara-negara jauh. Tapi, menaklukkan ekonomi mereka. Membuat
mereka terkesan, lalu ketika saatnya tiba, mencekik mereka dengan sekali
hentak: melaiui uang kertas tanpa jaminan, aturan cadangan 10 persen, dan
bunga. Tiga kombinasi jurus ini, sudah terbukti ampuh. Setidaknya, dua penduduk
negeri sudah mereka kuasai.
Perangkap inilah yang dengan cerita dan intensitas berbeda
terjadi dalam krisis di Asia Tenggara. Cara-cara yang sama akan terus kami
kembangkan, sehingga segelintir agen kami yang berkuasa, menyisakan masyarakat
banyak yang hidup sengsara. Kalau di kawasan itu sekarang sudah mulai recovery,
sasaran bisa dialihkan ke tempat lain. Boleh juga, di kawasan yang sama, tentu
menunggu saat yang tepat muncul kembali. Saat-saat balon ekonomi dan keuangan
tak lagi bisa menggelembung. Saat-saat ketika manusia kelimpungan. Saat-saat
ketika kami untuk kesekian kali merayakan kemenangan karena tiga pilar utama
setan, fiat money, fractional reserve requirement, dan interest berhasil
menggoyang ekonomi.
Sumber:
A. Riawan Amin, Satanic Finance, (Jakarta : Celestial Publishing, 2007), Hal. 13-34