Minggu, 04 Desember 2011

Pagi Yang Menakjubkan

D Em Bm A
Berjuta ton pemberat di mata indahku
D Em Bm A
Bagai tertimbun serbuk tidur di kamarku
D Em Bm A
Udara pagi dingin mahkota mimpiku
D Em Bm A
Aku terkapar melawan semuanya itu
C
Mama… 3x
A
Buat aku terjaga
Reff:
D Em Bm A
Hey, semua orang teriaklah di telingaku
D Em Bm A
Hey, semua orang hancurkan tempat tidurku
Back to : top

Senin, 24 Oktober 2011

ITALIA: DARI TEKANAN HINGGA KE MITOS


Italia merupakan sebuah Negara yang terletak di kawasan Eropa bagian Selatan yang berbatasan langsung dengan Laut Tengah. Italia memiliki sejarah sepak bola yang cukup panjang dan menarik. Italia merupakan pemegang empat kali juara Piala Dunia hingga saat ini. Terbanyak kedua setelah Brazil yang telah menjuarai sebanyak lima kali. Dalam meretas prestasi tingkat dunia Italia memiliki banyak cerita yang menarik , dari ancaman ”Il Duce” Mussolini hingga mitos 12 dan 24 tahun Piala Dunia.
Negara yang saat ini memiliki salah satu liga terbaik di dunia ini memulai perjalanan meraih prestasi pada dekade 1930-an. Italia yang pada saat itu dipimpin oleh Benito Mussolini dengan pemerintahan fasisnya ingin membawa Italia menjadi negara yang unggul di dunia dalam berbagai bidang. Ketika Piala Dunia diselenggarakan pertama kali pada tahun 1930 yang dijuarai oleh Uruguay yang juga selaku tuan rumah, Mussolini melihat bidang olahraga sepak bola ini juga dapat membawa kejayaan nama Italia sebagai pewaris Kekaisaran Romawi. Komitmen tersebut diwujudkan empat tahun kemudian tepatnya pada tahun 1934 Italia menjadi tuan rumah Piala Dunia. Mussolini sangat berambisi untuk meraih juara di ajang empat tahunan tersebut. Hal itu terlihat ketika ia berpesan kepada Timnas Italia dengan nada sedikit mengancam. Pesan tersebut adalah apabila mereka tidak mampu meraih juara Piala Dunia, maka mereka akan dihukum gantung di jalanan. Hal ini membuat pemain Italia berusaha menampilkan permainan terbaik disetiap pertandingan. Hasilnya mereka mampu meraih juara dunia untuk pertama kali setelah mengalahkan Cekoslovakia di babak extra time dengan skor 2-1.
Keberhasilan Italia berlanjut ketika Piala Dunia pada tahun 1938 yang diselenggarakan di Perancis. Dengan dukungan semangat dari ”Il Duce” Mussolini, timnas Italia berhasil menjadi negara pertama yang mampu mempertahankan gelar juara dunia. Setelah Piala Dunia Perancis 1938, kejuaraan ini sempat tidak diselenggarakan akibat Perang Dunia II yang terjadi di Eropa dan juga Perang Pasifik. Perang baru berhenti pada tahun 1945 dengan kemenangan berada di pihak Sekutu. Italia yang bersama dengan Jerman berada di pihak yang berseberangan dengan sekutu harus mengakui kekalahan dengan kondisi negara yang hancur. Di Italia hal ini berdampak ke berbagai bidang termasuk sepak bola. Italia harus kembali membangun kekuatan timnas mereka walaupun akhirnya akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Lima tahun setelah perang usai yakni pada tahun 1950 Piala Dunia kembali diselenggarakan. Brazil menjadi tuan rumah, dan yang keluar sebagai juara setelah masa vacuum adalah Uruguay. Butuh waktu lama bagi Italia untuk dapat kembali meraih juara dalam ajang tersebut. Hal ini baru terjadi ketika Piala Dunia diselenggarakan di Spanyol pada tahun 1982. Ditengah-tengah permasalahan yang terjadi di liga domestik mereka, Italia mampu meraih gelar juara dunia untuk ketiga kalinya setelah mengalahkan Jerman Barat 3-1 di Stadion Santiago Bernabeu. Gelar di tahun 1982 inilah yang nantinya pada Piala Dunia 2006 menjadi tonggak mitos 24 tahun juara dunia Italia. Uniknya pada Piala Dunia 2006 yang diselenggarakan di Jerman, Italia mengalami permasalahan yang sama yang menimpa liga domestiknya seperti pada tahun 1982, yaitu calciopolli. Namun hal itu tidak menghalangi Italia untuk meraih gelar juara ke-4 mereka setelah mengalahkan Perancis melalui drama adu penalti. Mitos 24 tahun terwujud.
”Ada fenomena lain di balik fenomena yang terjadi” inilah yang berlaku bagi Italia. Ada keunikan lain yang terjadi yaitu 12 tahun sebelum Italia meraih gelar juara dunia, Italia mengalami kekalahan atas Brazil di pertandingan final Piala Dunia. Hal ini pertama kali terjadi 12 tahun sebelum Piala Dunia 1982 yaitu tepatnya Piala Dunia 1970 yang diselenggarakan di Meksiko. Italia harus mengakui kekalahan dari Brazil di pertandingan final dengan skor 4-1 di Stadion Azteca, Brazil pun juara. Piala Dunia 1970 juga menjadi Piala Dunia terakhir bagi Pele. Kejadian tersebut terulang ketika Piala Dunia 1994 yang diselenggarakan di Amerika Serikat, 12 tahun sebelum Piala Dunia 2006. Italia kembali harus mengakui keunggulan Brazil di pertandingan final melalui drama adu penalti, Brazil pun juara. Uniknya lagi 12 tahun kemudian pada Piala Dunia 2006 Italia meraih gelar juara setelah menang drama adu penalti dari Perancis.
Banyak cerita dan keunikan yang menyertai sukses Italia dalam bidang sepak bola. Dari tekanan seorang pemimpin hingga mitos yang selalu didengungkan. Tinggal diperhatikan saja apakah mitos tersebut akan berlaku terus?
ERN
18/10/2011

Selasa, 04 Oktober 2011

TETAPLAH DI SAMPINGKU


Sudah cukup mengenang masa itu.
Masa ketika aku masih mengharapmu.
Karena saat ini aku telah memelukmu.
Menjagamu dala dekapanku.
                        Tak terpikir diriku tuk melepasmu.
Karena ku bahagia memelukmu.
Apakah kau bahagia dipelukanku???
Maafkan aku bila terlalu erat memelukmu.
Tak bermaksud diriku melukaimu.
Hanya perasaan ini takut kehilanganmu.
KARENA KU MENCINTAIMU.
22 JULI 2010
-ERN-

Senin, 06 Juni 2011

Total Football – Tiki Taka – La Massia – Barcelona Kembali Ke Dasar Sepak Bola


TIKI-TAKA, semenjak Barcelona kembali meraih tempat di kancah tertinggi sepak bola Eropa gaya permainan ini kembali menarik perhatian. Gaya permainan yang mengadopsi gaya Total Football Belanda ini mengkombinasikan passing pendek akurat dengan pergerakan tanpa bola yang aktif oleh setiap pemain. Sehingga menghasilkan suatu serangan yang efektif dan peralihan ke pertahanan yang cepat dan rapi. Gaya tersebut benar-benar layaknya Total Football Belanda tetapi dengan gaya matador yang ”teratur” dan ”rapi”.
Total football muncul dan diperkenalkan pada Piala Dunia 1974. Penciptanya adalah pelatih Belanda saat itu, Rinus Mitchell. Ketika itu Total Football Mitchell menemukan momentum pada diri Johan Crujjf di tim nasional Belanda. Johan Crujjf pemain multi talent dan multi posisi yang menjadi mesin tim Belanda dalam mengatur permainan. Namun, gelar dari Total Football tidak terjadi pada Piala Dunia 1974, karena di final Belanda harus takluk dari Jerman Barat. Gelar yang ditunggu baru hadir 14 tahun setelah kelahiran, yaitu di Piala Eropa 1988 Belanda berhasil meraih juara. Piala Eropa 1988 merupakan generasi emas Belanda dengan Trio-nya Frank Rijkard, Marco van Basten, dan Ruud Gullit yang dinilai permainannya mampu menggantikan peran Crujjf di tim Belanda. Satu hal yang paling penting pada saat itu, sang empunya Total Football, Rinus Mitchell, setia berdiri di pinggir lapangan sebagai manager tim. Hingga saat ini itulah satu-satunya piala yang mampu dibawa ke lemari KNVB (PSSI-nya Belanda).
Johan Crujjf yang menerima ”pendidikan” Total Football langsung dari Mitchell membawa ilmunya ke Barcelona ketika ia menerima pinangan untuk melatih klub Catalan tersebut pada tahun 1990. Total football diterapkan di klub Barcelona hingga ke tim akademi La Masia yang dibangun sejak 1979. Tidak perlu menunggu lama untuk menuai hasil, pada tahun 1992 Crujjf berhasil membawa Barcelona menjuarai Piala Champions (Red-Liga Champions) untuk pertama kali dalam sejarah klub. Dalam tim tersebut muncul pemain yang mampu menjalankan peran layaknya Crujjf di tim nasional Belanda, yaitu Josep ”Pep” Guardiola yang saat ini meneruskan generasi Total Football di Barcelona yang kemudian dikenal dengan Tiki-Taka.
Tiki-Taka yang mulai menarik perhatian kembali ketika pada musim 2005-2006 Barcelona berhasil menjuarai Liga Champions di tangan Frank Rijkard yang juga pernah dilatih langsung oleh Rinus Mitchell pada Piala Eropa 1988. Pada saat itu juga Barcelona diperkuat beberapa lulusan akademi La Masia yang menerapkan Total Football sebagai ”kurikulum” wajibnya seperti Carles Puyol, Victor Valdes, Xavi, Iniesta, dan juga Lionel Messi. Semenjak tahun 2006 Tiki-Taka mulai memberikan kejuatan kepada dunia. Diawali Piala Eropa 2008 timnas Spanyol berhasil menjadi Juara dengan menerapkan Tiki-Taka yang dibawa oleh beberapa pemain Barcelona dan Akademi La Masia seperti Xavi, Iniesta, Carles Puyol, dan jebolan La Masia yang bermain di Arsenal Cesc Fabregas Soler. Setahun setelah itu Spanyol kembali menguasai melalui tim si ”empunya” Tiki-Taka, Barcelona yang meraih gelar Liga Champions setelah mengalahkan Manchester United 2-0 di Olimpico, Roma.  Pegelaran Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan menjadi panggung lanjutan bagi Tiki-Taka menunjukkan ampuhnya. Spanyol berhasil mengalahkan Belanda di Final melalui tendangan Iniesta di babak extra time. Paling terbaru pada 28 Mei 2011 di Stadion Wembley, London, Barcelona kembali meraih juara setelah melakoni pertandingan Final ”De Javu 2009” melawan Manchester United yang berakhir dengan skor 3-1 untuk Barcelona.
Tiki-Taka dengan kombinasi passing dan gerak seakan mengingatkan kita bagaimana bermain sepakbola dengan sederhana. Seakan mengembalikan permainan sepak bola ke dasar, yaitu tendang, umpan, dan gerak, itulah yang membuat sepak bola ini digemari. Gaya permainan Barcelona yang simpel namun rumit benar-benar mengembalikan sepak bola ke dasar, layaknya Stadion Nou Camp yang lapangannya dibangun lebih rendah dibanding permukaan tanah yang berada disekitarnya, semuanya menuju ke bawah. Dasar bagi Barcelona merupakan puncak.

Kamis, 12 Mei 2011

Kembali Ke Wembley

Final ke-56 Liga Champions telah dipastikan akan mempertemukan Barcelona melawan Manchester United. Pertandingan final akan digelar 28 mei 2011 (Red- atau 29 mei 2011 WIB) di Stadion legendaris Wembley, London. Pertemuan kedua tim di final kali ini menjadi pertemuan kedua dalam kurun waktu 3 tahun. Kita ketahui pada final Liga Champions 2009 di Stadion Olimpico Roma, kedua tim juga saling bertemu. Pada saat itu tim asuhan Pep Guardiola berhasil mengungguli pasukan Sir Alex Ferguson dengan skor 2-0 melalui gol Samuel Eto’o dan Lionel Messi. Semenjak format baru Liga Champions digunakan pada musim 1992/1993, baru sekali terjadi partai ulangan final. Yaitu antara AC Milan melawan Liverpool. Kedua tim bertemu di final pertama pada musim 2004/2005. Kemudian bertemu kembali di Final Liga Champions 2006/2007. Dari dua final tersebut tidak ada dari kedua tim yang unggul. Liverpool menang di Final pertama melalui adu penalti setelah bermain imbang 3-3 di waktu normal 90 menit ditambah 30 menit perpanjangan waktu. Namun, AC Milan mampu membalas di pertemuan final kedua mereka pada tahun 2007 dengan skor 2-1.
Selain fakta tersebut, ada fakta lain yang cukup menarik dari final kali ini yang diselenggarakan di Wembley. Kedua Tim, baik Barcelona maupun Manchester United mempunyai kenangan indah di Stadion ini. Kurang lebih 43 tahun yang lalu tepatnya pada musim 1967/1968, Manchester United berhasil meraih gelar pertamanya di Piala Champions (Red- Liga Champions) setelah mengalahkan Benfica 4-1 di Stadion Wembley. Kemudian,pada musim 1991/1992 Barcelona berhasil meraih trofi pertamanya di Piala Champions mengalahkan Sampdoria 1-0 di Final yang diselenggarakan di Stadion Wembley. Wembley memang telah menjadi tempat yang penting dan juga bersejarah bagi kedua tim di Liga Champions. Barcelona dan Manchester United sama-sama telah mengoleksi 3 gelar Liga Champions. Jadi, patut ditunggu siapakah yang akan mengambil gelar ke-4 di Wembley. Barcelona atau Manchester United?

Kamis, 05 Mei 2011

Monoton VS Pragmatis

Mungkin hanya segelintir orang yang akan memungkiri keindahan ”Tiki-Taka” ala Barcelona. Simpel namun rumit, itulah yang dapat menggambarkan gaya bermain Barcelona. Formasi 4-3-3 ofensif yang diterapkan oleh Pep Guardiola seakan menjadi sempurna dengan ditunjang kemampuan individu dan operan-operan pendek akurat dari kaki ke kaki. Para pemain diharuskan banyak bergerak tanpa bola untuk membuka dan mencari ruang kosong untuk menerima umpan-umpan terobosan. Diperlukan stamina tinggi dan keakuratan operan untuk menerapkan strategi tersebut. Barcelona beruntung memiliki gelandang- gelandang kreatif yang ada pada diri Xavi Hernandes dan Andres Iniesta, winger-winger pekerja keras seperti Daniel Alves, Maxwell, Messi, dan Pedro. Merekalah yang mampu menghidupkan strategi ”Tiki-Taka” yang diterapkan Barcelona. Selain itu tentu saja pelatih mereka Pep Guardiola yang berada di balik layar permainan indah Barcelona.
Permainan individu dengan melewati beberapa pemain dalam permainan Barcelona jarang dilihat dalam waktu 90 menit pertandingan. Mungkin hanya Messi saja yang sering melakukan hal tersebut. Permainan tersebut sangat bertolak belakang sekali dengan seteru abadi mereka Real Madrid yang sekarang di tangan Jose Mourinho dinilai orang melakukan sepak bola pragmatis. Mou menerapkan strategi bervariasi dalam setiap pertandingan yang cocok untuk membawa timnya menang bukan untuk bermain cantik. Bagi Mou sepak bola adalah Gelar, dan gelar diraih apabila sebuah tim dapat memenangkan pertandingan. Hal tersebut dapat terlihat dalam dua Il Classico dalam sepekn pada tanggal 17 dan 21 April 2011. Mou yang terbiasa menggunakan formasi 4-4-2 atau 4-2-3-1, pada dua pertandingan tersebut ia menggunakan formasi 4-3-3 seperti yang diterapkan Barcelona. Namun, ada hal yang membedakan formasi ofensif Barcelona, Mou lebih memilih strategi ultra defense dengan menempatkan 3 gelandang bertipe bertahan yaitu Pepe, Xabi Alonso, dan Sami Khedira. Dalam kedua pertandingan Il Classico terbukti strategi Mou berhasil mengunci permainan operan-operan pendek Barcelona. Pemain Barcelona terbentur dengan 7 pemain Madrid yang bertipe bertahan. Hasilnya, pada pertemuan pertama dalam lanjutan La Liga Madrid berhasil menahan imbang Barcelona, dan pertandingan kedua madrid mampu unggul 1-0 melalui perpanjangan waktu dan meraih juara Copa del Rey. Strategi Mourinho sukses besar.
Jose Mourinho di balik kontroversial dan sepak bola ”pragmatism” nya perlu di akui dia adalah pelatih sukses dan jenius. Banyak varian strategi yang dapat ia munculkan dalam tiap pertandingan. Ia juga tidak terpaku pada gaya bermain pemain, formasi, posisi natural pemain. Pemain belakang pun apabila diperlukan dalam strategi yang dikembangkannya bisa disulap menjadi pemain tengah yang tangguh. Kejeniusannya inilah yang membuat strateginya susah untuk ditebak. Apabila dibandingkan dengan seterunya Pep Guardiola sungguh sangat berbeda jauh sekali. Ditelaah secara dalam strategi dan formasi yang diterapkan oleh Guardiola lebih terkesan monoton. Guardiola terpaku pada formasi 4-3-3 atau 4-2-3-1 nya. Dalam setiap pertandingan strategi tersebut tidak pernah dia rubah, yang dia rubah hanya pemain-pemain yang menempati tiap-tiap posisi dalam formasi tersebut.
Pertemuan kedua pelatih papan atas dalam musim ini masih tersisa dua laga lagi. Hal tersebut terjadi dalam ajang tertinggi di benua biru, yaitu Liga Champions. Dua laga ini menjadi penentuan siapa dari kedua pelatih tersebut yang unggul. Dari tiga pertandingan sebelumnya Barcelona dan Madrid sama-sama mengantongi satu kemenangan dan satu seri. Dalam perolehan gelar musim ini Madrid unggul karena sudah meraih piala Copa del Rey setelah mengalahkan Barcelona. Namun di La Liga langkah Barcelona sepertinya juga sudah susah untuk dibendung. Dapat dikatakan Barcelona berpeluang besar merengkuh gelar di Liga Spanyol. Jadi penentuan akan terjadi di Liga Champions. Siapakah yang mampu membawa timnya lolos ke final Liga Champions yang akan diselenggarakan di Stadion kehormatan rakyat Inggris Wembley?

Selasa, 12 April 2011

Menjaga Kesucian White Hart Line


Rabu (13/4) waktu Inggris atau Kamis dinihari waktu Indonesia barat tim debutan yang penuh kejutan di Liga Champions musim 2010/2011, Tottenham Hotspurs akan menjalani partai kandang melawan Real Madrid dalam lanjutan leg ke-2 babak perempat final Liga Champions. Dalam laga yang diselenggarakan di White Hart Line tersebut anak asuh Harry Redknapp mengusung mission impossible untuk melanjutkan langkahnya ke babak semi final. Pasalnya, pada leg-1 di Santiago Bernabeu Gareth Bale dkk. takluk empat gol tanpa balas dari tim asuhan Jose Mourinho. Gol-gol pada pertandingan tersebut dicetak oleh Emanuel Adebayor di menit ke-4 dan 57, Angel Di Maria menit ke-73, dan Cristiano Ronaldo menit ke-87.
Melihat hasil tersebut peluang anak asuh Harry Redknapp cukup sulit untuk lolos ke babak semi final. Tottenham Hotspurs minimal harus mencetak empat gol tanpa balas atau harus menang dengan selisih lima gol. Suatu pekerjaan yang mustahil apalagi lawan mereka Real Madrid penampilannya sedang meningkat setelah pada Minggu (10/4) dalam lanjutan La Liga berhasil menaklukan Athletic Bilbao. Namun, dengan kondisi yang tidak menguntungkan tersebut bukan berarti Tottenham akan melepaskan pertandingan di White Hart Line Rabu nanti. Sebagai tim debutan yang baru pertama kali tampil di Liga Champions musim ini pasukan Harry Redknapp punya catatan kandang yang sangat baik. Dari empat laga kandang yang telah dilakukan Tottenham berhasil mencatatkan tiga kemenangan, satu kali seri, dan belum pernah terkalahkan. Hasil seri didapatkan Tottenham di babak perdelapan final saat berhasil menahan imbang tanpa gol AC Milan. Sedangkan tiga kemenangan kandang dilakukan pada fase Grup A ketika mengalahkan Twente 4-1 (29/9), Inter Milan 3-1 (2/11), dan Werder Bremen 3-0 (24/11).
Misi menjaga rekor kandang di Liga Champions inilah yang akan diusung pasukan Lili Putih dari London saat menghadapi Pasukan special one. Jadi, pertandingan kamis nanti tetap akan seru karena tidak mudah bagi Madrid mengulangi hasil seperti pada leg-1. Dukungan suporter untuk tuan rumah juga akan menjadi musuh tersendiri bagi Madrid. –ern- (12-04-2011)

Kamis, 07 April 2011

Satu Kaki Madrid Injak Semi-Final


Rabu (6/4) dinihari, Real Madrid kembali memainkan laga babak perempat final Leg-1 Liga Champions dengan menjamu tim debutan asal Inggris Tottenham Hotspurs di Stadion Santiago Bernabeu. Real Madrid yang telah absen selama 7 musim dalam babak perempat final tampil dominan dalam pertandingan tersebut. Hal tersebut ditandai dengan Gol pemain pinjaman asal Manchester City, Emanuel Adebayor pada menit ke-4 setelah berhasil menyundul umpan sepak pojok yang dilakukan oleh Mesut Ozil. Petaka Tottenham hadir pada menit ke-15 setelah Peter Crouch menerima kartu kuning kedua setelah melanggar bek Madrid, Marcelo. Bermain dengan 10 orang praktis pertandingan babak pertama menjadi milik Madrid. Namun Gol kedua yang dinanti Madrid tidak kunjung hadir.
Memasuki babak kedua, pelatih Tottenham, Harry Redknapp menambah daya serang timnya dengan memasukkan Jermaine Defoe menggantikan gelandang serang Rafael Van der Vaart. Namun hal tersebut justru membuat lini tengah Tottenham kekurangan daya. Praktis pemain Real Madrid kembali menguasai pertandingan babak kedua. Berawal dari akselerasi Marcelo masuk ke kotak Penalti kemudian mengirimkan umpan tengah yang berhasil ditanduk oleh Adebayor yang tidak mampu diantisipasi oleh Gomes membuat Madrid Unggul 2-0 di menit ke-57. Keunggulan timnya membuat pelatih Madrid melakukan rotasi di lini tengah dengan mengganti Sami Khedira dengan Lassana Diarra pada menit ke-61. Masuknya Lass Diarra membuat lini tengah Madrid semakin mendominasi. Tottenham yang hanya meninggalkan Defoe sendirian di depan hanya bisa mengancam melalui serangan-serangan sporadis yang tidak terorganisir.
Pada menit ke-72 berawal dari tusukan Angel Di Maria yang masuk ke kotak penalti dari sisi kiri pertahanan Tottenham, dan sekejap melepaskan tendangan keras melengkung ke sudut kanan gawang yang tidak mampu ditepis oleh Gomes membuat Nuo Los Galacticos menjauhkan margin poin menjadi 3-0. Kemenangan yang telah di depan mata membuat Mourinho melakukan dua pergantian pemain dengan mengganti Adebayor dengan Gonzalo Higuain pada menit ke-74 dan Di Maria dengan Kaka pada menit ke-77. Pertandingan ini menjadi pertandingan pertama Gonzalo Higuain di Eropa setelah absen 4 bulan akibat cedera. Pergantian Di Maria dengan Kaka menuai hasil positif 10 menit kemudian ketika kaka memberi umpan yang disambut dengan tendangan volley Ronaldo yang gagal ditepis oleh Gomes, 4-0 untuk Madrid.
Hingga 90 menit pertandingan berlangsung, hasil 4-0 tidak berubah. Hasil tersebut membuat peluang Madrid melaju ke babak semi final semakin terbuka. Pada leg-2 di White Hart Line kandang Tottenham, Madrid hanya membutuhkan hasil imbang atau kalah tidak lebih dari tiga gol. Hasil tersebut juga membuat Madrid menjadi salah satu tim yang belum terkalahkan dalam laga kandang di ajang Liga Champions. –ern- (6 April 2011, 05:00)